Makna Kongres Perempuan I bagi Kebangkitan Perempuan Indonesia

Saniyya Jauhara Nafisa
6 min readMay 22, 2022

--

Penerapan kebijakan politik etis di Hindia Belanda pada awal abad ke-20 telah mengubah arah perjuangan bangsa dalam melawan penjajahan Belanda. Perjuangan rakyat yang pada awalnya bersifat kedaerahan mulai bergeser ke arah nasional. Mulainya pergerakan bangsa yang bersifat nasional ditandai dengan terbentuknya organisasi Budi Utomo pada 1908 (Imsawati et al., 2017). Setelah lahirnya Budi Utomo, organisasi-organisasi pergerakan dengan beragam corak visi misi pun bermunculan.

Kuatnya atmosfer pergerakan dirasakan oleh berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. Bahkan, kaum perempuan yang pada masa itu kedudukannya dianggap lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki turut memulai pergerakan melalui perkumpulan-perkumpulan khusus perempuan. Seperti kaum laki-laki, kaum perempuan pun sadar akan kondisi bangsa Indonesia yang pada saat itu penuh dengan penderitaan, termasuk perlakuan tidak adil yang dialami oleh kaum perempuan (Trimurtini, 2015).

Kondisi kaum perempuan di Indonesia sebelum tahun 1912 sangat memprihatinkan (Cahyani et al., 2015). Meskipun kebijakan politik etis mengenai pendidikan telah berlaku, hak untuk memperoleh pendidikan masih belum diberikan secara merata kepada seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda menetapkan bahwa pendidikan hanya diperuntukkan bagi kalangan elit dan dikhususkan untuk kaum laki-laki (Cahyani et al., 2015).

Selain itu, adat feodal yang berlaku pada saat itu membuat perempuan tertindas. Ketika seorang gadis beranjak dewasa, ia harus dipingit (diam di rumah dan tidak boleh keluar dari rumah sama sekali) hingga tiba saatnya untuk menikah dengan seorang pria yang bukan pilihannya dan tidak dikenalnya. Sering kali, pria tersebut bukan seorang perjaka, melainkan pria yang jauh lebih tua atau pria yang sudah mempunyai banyak istri (Cahyani et al., 2015). Setelah menikah, suaminya dapat dengan sewenang-wenang menceraikan gadis tersebut. Sistem patriarki yang pada saat itu masih sangat kental menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki.

Tumbuhnya kesadaran kaum perempuan mengenai isu-isu penderitaan perempuan dipelopori oleh Raden Ajeng Kartini (1879–1904) (Trimurtini, 2015). Pada masa itu, Kartini sudah memiliki pemikiran yang melampaui pemikiran perempuan Indonesia lainnya (Pradita, 2020). Di dalam surat-suratnya yang terangkum dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini menekankan bahwa ketidakadilan yang dialami kaum perempuan dapat berakhir apabila kaum perempuan menerima pendidikan yang layak (Pradita, 2020).

Pemikiran-pemikiran Kartini menjadi landasan utama pergerakan perempuan pada era kebangkitan nasional. Pada masa itu, perkumpulan-perkumpulan perempuan fokus bergerak dalam bidang sosial dan pendidikan (Trimurtini, 2015). Mereka berusaha memperbaiki kedudukan perempuan dalam lingkungan sosial melalui pendidikan bagi anak-anak gadis serta peningkatan kecakapan perempuan sebagai seorang ibu dan pemegang rumah tangga (Trimurtini, 2015).

Pada tahun 1912, atas dukungan dari Budi Utomo, terbentuklah organisasi perempuan pertama di Batavia yang bernama Putri Mardika (Pradita, 2020). Sebagai organisasi penerus cita-cita Kartini, Putri Mardika menyadari bahwa penyebab adanya ketidakadilan yang dialami perempuan adalah keterbelakangan pendidikan (Pradita, 2020). Oleh karena itu, Putri Mardika berusaha meningkatkan taraf hidup perempuan melalui pendidikan dan pemberian beasiswa bagi anak-anak perempuan (Trimurtini, 2015).

Setelah berdirinya Putri Mardika, organisasi-organisasi perempuan yang lain mulai bermunculan di berbagai daerah. Pada tahun 1913, Ny. Van Deventer memprakarsai berdirinya Kartini Fonds, organisasi yang bertujuan untuk mendirikan sekolah-sekolah Kartini. Pada tahun yang sama, Dewi Sartika mendirikan Kautamaan Istri di Tasikmalaya, Jawa Barat (Trimurtini, 2015). Kautamaan Istri adalah sebuah perkumpulan sekaligus sekolah khusus perempuan.

Di Sumatra Barat, pada tahun 1914, Rohannah Kudus mendirikan Kerajinan Amai Setia, perkumpulan perempuan yang memberi pengajaran dalam hal menjahit, menyulam, merenda, hingga menenun (Ardyamarthanino, 2021). Selain Kerajinan Amai Setia, ada banyak perkumpulan perempuan yang juga memberi pengajaran mengenai kecakapan khusus perempuan, di antaranya adalah Pawiyatan Wanito (Magelang), Wanito Susilo (Pemalang), dan Wanito Hadi (Jepara) (Trimurtini, 2015).

Sejak tahun 1920, atmosfer kebangkitan nasional di Indonesia bertambah kuat. Semangat persatuan berkembang pesat di kalangan kaum perempuan. Muncul keinginan di kalangan perkumpulan perempuan untuk membuat sebuah federasi nasional untuk menyatukan pergerakan kaum perempuan. Kongres Pemuda pada tahun 1928 turut menjadi inspirasi bagi perkumpulan-perkumpulan perempuan untuk mempersatukan kekuatan.

Semangat persatuan yang membara menjadi landasan bagi para pendiri cabang Putri Indonesia di Yogyakarta untuk menggagas pembentukan komite pelaksana Kongres Perempuan. Gagasan ini didukung oleh tujuh organisasi perempuan, yakni Wanita Taman Siswa (bagian dari Taman Siswa), Wanita Utomo (bagian dari Budi Utomo), Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (bagian dari Jong Islamieten Bond), Jong Java Meisjeskring (bagian dari Jong Java), Wanita Katolik, Aisyiyah (bagian dari Muhammadiyah), dan Putri Indonesia (bagian dari Pemuda Indonesia). Meskipun memiliki corak pergerakan yang berbeda-beda, organisasi-organisasi tersebut bersedia untuk bersatu dan bekerja sama demi menggelar Kongres Perempuan.

Setelah melalui proses penggagasan dan perencanaan, akhirnya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama digelar pada tanggal 22–25 Desember 1928 di Pendopo Joyodipuran, Yogyakarta (Cahyani et al., 2015). Laporan kongres ini mencatat bahwa Kongres Perempuan I dihadiri oleh 750 hingga 1000 peserta (Trimurtini, 2015).

Berdasarkan laporan kongres, peserta yang hadir dalam Kongres Perempuan I mayoritas berasal dari Pulau Jawa. Meskipun demikian, organisasi-organisasi perempuan yang berada di luar Pulau Jawa tetap memberikan dukungan melalui telegram. Organisasi-organisasi yang mengirim telegram adalah Kaum Ibu Sumatra, Kautamaan Istri Sumatra, Wanito Utomo Bogor, Putri Pemuda Sumatra dan Jakarta, Perserikatan Marsudi Rukun Jakarta, Dewan Pimpinan Majelis Ulama dan Pemuda Sumatera dan Jakarta (Trimurtini, 2015).

Acara kongres yang berlangsung selama tiga hari tiga malam ini terdiri dari persidangan umum dan persidangan tertutup (Trimurtini, 2015). Dalam persidangan umum, beberapa peserta maju untuk melakukan pidato. Secara garis besar, pidato-pidato tersebut membahas isu-isu kedudukan perempuan dalam pernikahan, poligami, dan koedukasi (pendidikan untuk anak perempuan dan laki-laki secara bersamaan) (Cahyani et al., 2015). Gaya pidato tiap pembicara menunjukkan latar belakang budaya yang beragam serta tingkat kecakapan dalam berpidato yang berbeda-beda (Trimurtini, 2015).

Selain pembacaan pidato, persidangan umum juga terbuka untuk penyampaian usulan. Beberapa usulan disampaikan oleh Komite Pusat, Rukun Wanodiyo Weltevreden, Panti Krido Wanita Pekalongan, Jong Islamieten Bond, Natdatoel Fataat, dan Aisyiyah.

Setelah diadakannya persidangan tertutup untuk mempertimbangkan usulan-usulan dari tiap organisasi, kongres ini menghasilkan beberapa putusan. Pertama, gabungan perkumpulan wanita yang bernama Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) akan didirikan. Yogyakarta dipilih sebagai tempat kantor pengurus pusat dengan mempertimbangkan daerah asal mayoritas pengurus.

Kedua, PPI akan menerbitkan surat kabar yang redaksinya akan diurus oleh Nyi Hajar Dewantara, Hajinah, Nyonya Ali Sastroamidjojo, Ismudijati, Badiah, dan Sunarjati. Selanjutnya, PPI akan mendirikan studie fonds untuk anak-anak gadis dan memberikan pendidikan kepanduan bagi perempuan.

Selain itu, setiap anggota PPI harus membuat propaganda mengenai dampak buruk perkawinan anak dengan tujuan mencegah terjadinya perkawinan anak. Kongres ini juga mengirimkan mosi kepada pemerintah agar tunjangan dana bagi janda dan anak yatim segera diadakan. Mosi juga dikirimkan kepada pengadilan agama agar tiap talak dikuatkan secara tertulis sesuai dengan peraturan agama (Trimurtini, 2015).

Kongres Perempuan I diakhiri dengan pengesahan anggaran dasar dan rencana aksi PPI. Dengan demikian, PPI secara resmi menjadi badan penghubung bagi semua perkumpulan perempuan Indonesia (Trimurtini, 2015).

Terlaksananya Kongres Perempuan I mengandung makna yang penting dalam sejarah kebangkitan nasional Indonesia. Kongres ini adalah sebuah tonggak yang menandai babak baru bangkitnya kaum perempuan untuk berorganisasi secara demokratis tanpa membedakan agama, etnis, dan kelas sosial (Lupitasari, 2020). Kongres ini juga menjadi bukti bahwa kaum perempuan yang awalnya hanya dianggap sebagai konco wingking dapat berperan aktif dalam memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.

Upaya yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk memperbaiki kedudukan perempuan dalam tatanan sosial perlahan-lahan membuahkan hasil. Hal tersebut tercermin dari kesetaraan hak untuk menuntut ilmu bagi perempuan dan laki-laki serta perbaikan kedudukan perempuan dalam perkawinan. Untuk mengabadikan makna yang terkandung dalam Kongres Perempuan I, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu berdasarkan Dekrit Presiden Nomor 316 Tahun 1959 (Lupitasari, 2020).

Referensi

Cahyani, S., Swastika, K., & Sumarjono. (2015). Perjuangan organisasi perempuan Indonesia menuntut hak pendidikan pada masa kolonial Belanda tahun 1912–1928. Artikel Ilmiah Mahasiswa. 1. 1–14. Diakses dari http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/64112

Imsawati, D., Handayani, S., Sumardi. (2017). The intelectual’s contribution in the national movement of Indonesian 1908–1928. Jurnal Historica. 1. 277–292. Diakses dari https://jurnal.unej.ac.id/index.php/JHIS/article/view/6440

Lupitasari, A. (2020, Desember 22). Makna hari ibu bagi perempuan Indonesia. Kompaspedia. Diakses dari https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/kronologi/makna-hari-ibu-bagi-perempuan-indonesia

Pradita, S. (2020). Sejarah pergerakan perempuan Indonesia abad 19–20: tinjauan historis peran perempuan dalam pendidikan bangsa. Chronologia: Journal of History Education. 2. 11–24. Diakses dari https://journal.uhamka.ac.id/index.php/jhe/article/view/6060

Trimurtini, W. (2015). Perkembangan kongres perempuan Indonesia pertama tahun 1928 di Yogyakarta. S1 Thesis, Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses dari https://eprints.uny.ac.id/23133/

--

--

No responses yet